084. I Care About You
Entah keputusan ini tepat atau tidak, Dea sendiri tidak bisa mencegah Raya yang ngotot meminta diantar ke apartemen Hiro. Raya ingin mendengar langsung semuanya dari mulut lelaki itu dari pada harus bertarung dengan ekspetasi-eskpetasi negatif yang terus bermunculan di kepalanya. Namun bukan berarti ia mengharapkan pembelaan diri Hiro. Ia hanya mengingkan kejelasan dari semua ini.
Raya membiarkan Dea menunggu di bawah sementara dirinya naik menuju unit apartemen Hiro. Dengan dada bergemuruh, ia bersiap akan melayangkan kata-kata jahat, mengolok, memaki dan terus memojokkan lelaki itu atas hal yang telah diperbuat sampai ia mendengar kejujuran. Raya memang lebih suka blak-blakan dari pada bertele-tele seperti kebanyakan prempuan di luar sana. Apa lagi yang akan ia hadapi adalah Himalaya Hiro Kaivan, seorang lelaki dengan kelebihan pandai merangkai kata. Semua prempuan bisa saja termakan ucapannya yang seringkali tidak sesuai kenyataan.
Namun semua niat untuk memaki habis-habisan itu lenyap saat sosok Hiro muncul membukakan pintu untuknya dengan wajah penuh lebam dan luka di sudut bibir. Seketika Raya bungkam, ia kehilangan kata-kata jahat yang sebelumnya susah payah ia rangkai di dalam kepala. Kini wajahnya hanya menunjukkan iba akan lelaki itu seolah ikut membenarkan Juna bahwa Hiro layak untuk dikasihani.
Ada banyak hal yang tidak Raya mengerti tentang Hiro meskipun sudah mengenalnya lama. Hiro yang ceria dan menyebalkan, yang selama ini ia kenal mungkin merupakan salah satu bagian dari kebohongan lelaki itu.
“Lah, Acil? Lo ngapain ke sini?!” tanya Hiro dengan kerutan di keningnya.
“Lo itu… itu kecelakaan atau diamuk masa?” Mendengar itu Hiro terkekeh. Entah bagian mana yang lucu, Raya kini menatap lelaki itu dengan raut wajah bingung sekaligus miris.
“Lo mau ambil lunch box, ya? Bentar gue ambil dulu.”
Hiro tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, tidak pula memberikan izin masuk. Namun secara naluriah Raya membuntutinya bahkan sampai ke kitchen table.
“Lo kenapa sih, Ro? Gue nanya kondisi lo bukan minta diambilin lunch box.”
Hiro dengan tangan yang sudah membawa lunch box milik Raya pun terdiam. Jujur saja jantungnya berdebar sangat kencang begitu mendapati Raya berdiri di balik pintu unit apartemennya. Harusnya Raya tidak melihatnya dalam kondisi seperti ini karena pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan, mungkin juga masalah baru. Lagi pula Hiro tidak suka mengungkit hal yang telah berlalu, khusunya hal yang tidak ia sukai.
“Juna gak ngomong apa-apa?” Hiro ingin memastikan apakah Juna sudah bicara jujur tentang kejadian dua hari yang lalu.
“Enggak.” Jawabnya singkat.
Ia kembali mempertanyakan lagi, “Lo kenapa sih, Ro?”
Hiro menghela nafas berat kemudian menjawab, “Litami selingkuh.”
Dan Raya langsung mengerti setelah Hiro menyebut nama yang menjadi akar masalah dari kejadian malam itu. Ia memang tidak mengenal dekat Litami, namun sejauh ini, selama pertemuannya yang tidak sengaja dengan prempuan itu, seringkali Raya merasa ada yang janggal. Salah satunya kepura-puraan prempuan itu saat memberikan perhatian kepada Hiro, yang entah mengapa terlihat begitu kentara.
“Jadi Juna gak ke SG malem itu?” Kini mereka sudah duduk dengan nyaman di sofa untuk menuntaskan rasa penasaran Raya tentang detail kejadian malam itu.
Hiro menggeleng. “Dia tidur di sini. Gue bawa kabur motornya buat nyamperin Litami sama Giandra. Dan sialnya, sepulang dari ngelabrak mereka gue nabrak gerobak bakso.”
Sumpah serapahnya jadi kenyataan. Raya langsung merasa tidak enak kepada Hiro karena mungkin secara tidak langsung ia menjadi salah satu penyebab kecelakaan itu terjadi. Dalam lubuk hati terdalam ada perasaan aneh yang tak bisa Raya jelaskan. Ia merasa bersalah, mengkhawatirkan lelaki itu, dan ia peduli. Raya peduli dengan Hiro meski terkadang berusaha keras agar kepeduliannya tidak terlihat.
Dulu saat Hiro, Juna, Mika dan Jeremy telah mengenakan seragam putih abu-abu, Raya masih berada di bangku SMP. Ada kejadian yang sampai sekarang masih samar dan belum terpecahkan olehnya ketika melihat Juna menangis sepulang sekolah. Sayup-sayup ia mendengar bahwa Hiro diamuk oleh papanya sendiri di depan banyak orang hingga meninggalkan bekas luka di dekat matanya. Ketika Raya menanyakan detailnya, semua hanya menjawab dengan gelengan kepala. Entah benar-benar tidak tahu atau kebenarannya sedang disembunyikan.
Sejak saat itu Raya jadi berprasangka buruk dengan Hiro. Mengira bahwa lelaki itu bandel, nakal, dan suka bikin onar sehingga sampai membuat orang tuanya marah besar sampai memukulnya. Tapi sekarang pandangannya sudah jauh berbeda, Raya bukan lagi siswi SMP yang polos, Raya kini adalah seorang prempuan dewasa yang sudah bisa membaca situasi meski sekitarnya terus menyembunyikan sesuatu darinya.
“Maaf,” kata Raya. Kedua matanya berkaca-kaca, pandangannya menjadi buram oleh genangan air mata yang masih ia tahan agar tidak jatuh. Meski begitu ia masih sanggup melihat bekas luka pukulan papa Hiro di dekat matanya.
Hiro mengusap kepala Raya, membuat rambutnya jadi acak-acakan.
“Bukan gara-gara lo.” Lalu air matanya luruh seketika. Hiro hanya tersenyum.
Raya belum pernah merasakan sesak seperti ini di dadanya. Belum pernah juga meneteskan air mata untuk seorang lelaki selain Juna yang dulu jatuh karena nekat menaiki sepeda motor Pak Latif. Dan belum pernah juga merasakan hatinya begitu riuh bahkan ketika baru melihat Hiro berdiri di ambang pintu tadi.
Gue harusnya gak begini. Ini Hiro, cowok paling rese sedunia, yang selalu manggil nama lo dengan sebutan aneh. Bocil, Bokem, dan yang terbaru Acil. Senyebelin itu, Ra, orangnya. Tapi kenapa liat dia berusaha keras menutupi kerapuhannya malah justru jadi lo yang nunjukkin secara terang-terangan? Ngapain?
“Cil, ngapain nangis? Lo sedih liat gue begini?” Lelaki itu justru tertawa melihatnya menahan isak tangis. Bukannya kepedulian Raya jadi terlihat sia-sia?
Tapi dia emang begini. Sekarang gue paham.
Dengan kasar Raya mengusap air mata di pipinya. “Gue gak nangisin lo, bego!” ujarnya lantang.
“Emang bener begitu, Cil. Liat calon suami begini pasti sedih, kan?” Benar-benar menjengkelkan mendengar kalimat itu terucap dari mulutnya.
Raya langsung memukul bahu lelaki itu dengan kekuatan penuh. “Aww!!! Adoohhh!!! Cil, sakit woi!!!”
“Hah?!! Sakit?!! Beneran sakit, nih?!” Wajah Raya panik, tapi masih belum sepenuhnya percaya.
“Tulang belikat gue lebam. Gerakin dikit aja sakit, malah pake ditambah pukulan lo! Mana masih nanya ‘beneran sakit?’ lagi!”
“Ya sori, gue trust issue sama lo, anjay. Suka bohong soalnya.” Raya mengusap bekas pukulannya di sekitar bahu lelaki itu.
“Calon istri emang harus perhatian sama calon suami. Iya gak?”
Raya mengertakan gigi. “Sekali lagi lo ngomong begitu, gue kasih pukulan lagi lebih keras! Mau?!”
“Galak amat, padahal tadi nangisin gue.” ujar Hiro sambil cengengesan.
“Gak usah dibahas, anjay! Dan catatan buat lo, minimal sediain tisu kalo ada cewe nangis. Biar lo gak disangka brengsek, brengsek!”